Get the Most from your Trainer

I met Jon few years ago. He was dating a very active and fit lady. They were making plans to get married and had just started working out together. For a couple of months before the wedding they…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Snow

Semua ingatan pada hari itu bisa kuingat jelas.

Pairing: Kang Younghyun/Yoon Dowoon from DAY6

Disclaimer: fanfiksi ini dibuat semata-mata hanya sebagai hiburan dan tidak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata.

Tags: m/m, hurt no comfort, angst, break up, main character death.

Ditulis dari sudut pandang Kang Younghyun.

Aku tak pernah menyangka, pertemuan terakhir kali kita sudah hampir genap setahun berlalu. Kala itu kau mengajakku menuju taman bermain bersama, membaur bersama anak-anak untuk menikmati musim dingin yang hampir tiba.

Anak-anak menyukaimu. Mereka menghambur kepadamu dan saling bersorak mengajak bermain bersama. Yang terpikirkan saat itu hanyalah bagaimana perasaanku semakin dalam kala tawa lebarmu mengudara. Andai kita menikah nantinya, apakah kau mau membesarkan anak bersamaku hingga tua?

Mengikuti langkahmu bermain bersama anak-anak. Petak umpet adalah permainan yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Maka kita terus bermain bersama mereka, menghabiskan waktu yang kian lama terasa cepat. Hingga akhirnya para orang tua mulai menjemput anak-anaknya mengingat malam akan tiba.

Kini hanya tersisa kita berdua, saling menggenggam tangan satu sama lain sembari menatap langit senja yang perlahan menggelap. Beruntung daerah ini sepi, jadi aku dapat menggenggammu sesuka hatiku. Hening yang melingkup menciptakan rasa nyaman di antara kita. Dan aku akan memanfaatkan kesempatan dalam situasi menenangkan ini bersamamu. Tanpa sadar kueratkan genggaman tanganku, membuatmu menoleh dan tersenyum tipis.

“Dingin?” tanyamu sekenanya.

Aku mengangguk sekali, kemudian menyandarkan kepalaku di pundak kirimu. “Tapi aku masih belum ingin pulang.”

Tangan kananmu terangkat membelai halus helaian rambut serta pelipisku. Aku bisa merasakan betapa hangatnya tanganmu yang membuatku tak ingin melepaskan genggaman ini dan mempertahankannya selama mungkin.

Lagi-lagi diam menguasai kita. Langit semakin temaram. Pencahayaan tergantikan oleh lampu jalanan yang berjejer cantik di sepanjang jalan serta seluruh penjuru taman. Agaknya, aku terlalu nyaman berada di posisi ini, sampai-sampai kantuk mengetuk pintu kesadaranku.

“Sayang, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan,” tuturmu dengan pandangan mengarah lurus ke depan.

Rasa kantuk mendadak menghilang. Aku tak lagi bersandar di bahumu; langsung menegakkan diri seraya menatapmu serius. “Ada apa? Apa kau sedang ada masalah?”

Kamu menghembuskan napas cukup lama. “Sepertinya aku sudah tidak bisa mempertahankan hubungan kita.”

Mataku mengerjap. Jantungku berdegup kencang. Perkataanmu terlalu mendadak bagiku yang tak pernah memikirkan ada kata usai di hubungan kita. Aku pun melepaskan genggaman tangan kita. Kini mata kita bersirobok dan aku tak mampu memaknai tatapanmu sama sekali. Apakah itu penyesalan? Apakah itu keputusasaan? Apakah itu sorot kekecewaan?

“Mengapa…?”

Telingaku mendadak berdenging. Kepalaku pusing setelah menerka-nerka probabilitas apakah yang membuatmu memberanikan diri mengakhiri ini semua. Apakah aku ada kesalahan yang sudah tidak bisa kau toleransi? Apakah aku masih kurang cukup? Ataukah memang karena alasan yang belum bisa aku tebak saat ini?

Kulihat kedua tanganmu yang mengepal kencang. Kurasa kau sendiri pun tak bisa mengendalikan emosi seperti diriku.

“Aku sudah tidak bisa lagi membujuk kedua orang tuaku. Rupanya meminta restu jauh lebih sulit dari yang aku perkirakan.”

Bahuku merosot, untuk mengambil napas saja rasanya berat. Jadi ini akhirnya? Memang dari awal kau tak pernah menjanjikan apapun untukku. Namun, apa benar ini akan menjadi akhir cerita kita? Sudah terlalu banyak peristiwa yang kita lalui bersama, susah mau senang, jatuh kemudian bangun, bahkan kita sempat menangis bersama menghadapi kekejaman dunia ini. Aku semakin tidak percaya kau ingin memutuskan semua ini begitu saja. Namun, apa yang bisa kuperbuat? Memaksa orang untuk terus hadir di kehidupanku adalah tindakan egois dan aku tak ingin memaksakan seluruh egoku apalagi di hadapanmu.

“Tapi, tetap saja. Aku tidak bisa menyangkal bahwa semua ini terlalu mendadak. Hubungan kita sudah ada sejak awal perkuliahan dulu. Lima tahun berlalu dan kupikir semuanya akan baik-baik saja. Rupanya dulu aku terlalu naif, bahkan hingga sekarang,” ucapku terang-terangan. Aku tak pernah menyembunyikan apapun di hadapanmu, maka sekarang pun akan terungkap segala hal yang ingin kulontarkan kepadamu. “Kau tak pernah sepesimis ini sebelumnya, Dowoon. Apa ada yang mengganggu pikiranmu selama kita tidak bertemu selama sebulan terakhir?”

Kau masih tak bergeming. Hati terasa semakin berat detik demi detik berlalu, sementara kamu enggan memberi balasan.

Aku kesal bukan main. Rasa sesak yang ada di dadaku berumah menjadi gemuruh emosi yang siap meledak kapan saja. Namun, aku tetap mencoba untuk tenang. Kau tak suka dengan suara keras yang kerap membuat hatimu sakit. Hal itu sudah lama aku hafal bertahun-tahun, maka aku hanya akan berbicara menggunakan nada datarku.

“Sejujurnya…,” gumammu yang masih bisa tertangkap oleh telingaku.

“Katakan.”

“…Ibu memaksaku menikah dengan wanita pilihannya.”

Aku menatapnya datar. “Lalu, kau tak bisa menolaknya.”

“Aku sudah berulang kali menolaknya, Hyung! Berkali-kali aku mencoba membuat Ibu paham. Bahkan aku sudah membujuk Ayah untuk membatalkan perjodohan itu. Namun mereka berdua memilih untuk berpaling dari aku, anaknya yang sudah mereka besarkan dengan tangan mereka sendiri!” Susah payah diriku menahan untuk tidak meninggikan suaraku di depanmu, sekarang justru kau yang terus berseru di telingaku. Aku mencoba untuk paham. Tapi situasi ini terlalu rumit untuk dihadapi hingga bisaku hanya menarik napas panjang.

Aku mengalihkan pandanganku darimu. “Lakukan apa saja yang kau mau. Kupikir, memang sebaiknya kita akhiri semua ini di sini. Aku tidak ingin membebani perasaanmu lebih jauh lagi.”

“Hyung…,” bisikmu sembari mencoba meraih jari-jemariku. Sayangnya, hatiku terlalu perih untuk membiarkan hangat tanganmu menjalar ke arah tanganku. Jadi aku menarik kedua tangan, mencoba menjauhkannya darimu.

“Kau boleh melupakanku mulai sekarang. Belajarlah mencintai wanita itu. Sebelumnya kau memang menyukai wanita kan? Seharusnya itu bukan hal yang sulit bagimu,” ucapku. Suaraku hampir saja bergetar merasakan pelukanmu yang mendadak merengkuh seluruh tubuhku.

“Maafkan aku,” Bisikan itu membuat tubuhku merinding, “meski aku tak yakin bisa memudarkan perasaanku sendiri, dan aku yakin, aku tak akan bisa melupakanmu sama sekali.”

Malam itu pula, salju turun untuk pertama kalinya di tahun itu; kita berpisah, meski rasa di antara kita tak pernah berubah. Namun bisa apa kita menghadapi situasi yang memaksa kita untuk saling menjauhkan diri dan tetap menghormati orang tua yang tak mungkin bisa kita tinggalkan?

Sejak hari itu, aku mengharapkan keberuntungan berpihak kepadaku; bahwa mungkin saja kita bisa kembali seperti dulu. Hingga salju turun di tahun berikutnya, harapanku tak pernah sekalipun berkemungkinan untuk terwujud setelah mendengar berita kematianmu yang terjadi dua minggu sebelum tanggal pernikahan yang orang tuamu rencanakan.

Aku tak bisa melakukan apapun, Dowoon. Bahkan di hari pemakamanmu pun, aku merasa tak sanggup menemuimu untuk yang terakhir kali. Aku hanya bisa memberi salam singkat kepadamu dan kedua orang tuamu. Setelah itu aku pulang, mencoba mengeluarkan semua kesedihanku dengan cara menangis tetapi semuanya gagal. Rasanya hampa, Dowoon. Meski dadaku sesak bukan main, aku lagi-lagi tak bisa melakukan apa-apa. Tangisku baru keluar sebulan setelah aku mencoba menemuimu kembali di makam dan menyadari bahwa aku tak akan bisa memelukmu lagi untuk selama-lamanya. Pelukan yang kau berikan secara sembrono saat memutuskan hubungan kita, rupanya adalah hal terakhir yang bisa aku kenang darimu.

Sekarang, setiap salju turun untuk pertama kalinya di Seoul, semua ingatan pada hari itu bisa kuingat secara jelas semuanya. Sementara aku akan mengunjungimu, membawakan bunga mawar yang selalu kau suka semasa kencan kita dulu, dan aku akan menceritakan hari-hari yang telah aku jalani tanpa dirimu di sampingku.

Aku tidak ingin mengucapkan kata selamat tinggal, Dowoon. Namun aku berharap kau bisa tenang di alam sana. Meski diriku tak bisa merasakan ketenangan yang sama lagi semasa hidupku nanti.

Aku menyayangimu.

Add a comment

Related posts:

Serial key windows 8.1 64 bit bagas31

SERIAL DE ORO WINDOWS 8.1 | 32 & 64 BITS |OCTUBRE — DICIEMBRE 2017 — YouTube ÚSALO AL MOMENTO DE INSTALARXHQ8N-C3MCJ-RQXB6-WCHYG-C9WKBESTE ES EL ARCHIVO QUE DEBES DESCARGAR PARA TENERLO. Jul 29, 2020…

No Problem

One day during lunch, our server used that phrase for everything. We gave her our order, No problem. We asked for more tea, No problem. More bread, no problem. The check, No problem. She must’ve used…