Cara Berkesan Menangani Penyakit Herpes Genital

Cara Berkesan Menangani Penyakit Herpes Genital — Jangkitan virus herpes dikenali sebagai penyakit kulit menggelembung air. Virus Herpes tergolong dalam kumpulan alpha herpesvirus. Virus herpes…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Luka dari Papa

Radin berdiri menatap pintu rumahnya. Dengan hembusan napas pelan, dia menyakinkan dirinya untuk masuk.

Rumah yang menakutkan untuk seorang anak, apa masih bisa disebut sebagai ‘rumah’?

Sepi, rumah ini terasa lebih dingin dari biasanya.

“Bunda, Papa di mana?” tanya Radin kepada Wina yang sedang melamun di ruang tv.

Wina menoleh. “Sayang, Adin malam ini menginap saja, ya, di rumah siapa temen Adin, mau di rumah Hasbi atau Janu, bunda izinkan.”

Radin menaikkan sebelah alisnya. “Bunda, gak bisa. Sekarang atau nanti, papa pasti bakal tetap marah, kan? Adin gak mau bund, terus-terusan lari dari kenyataan.”

Wina mengelus surai hitam putranya. “Anak bunda sudah dewasa sekarang. Ayo, bunda temani ke ruang kerja Papa.”

Radin mengetuk pintu kerja papanya, sampai terdengar deheman dari dalam.

“Maaf, Pa.” Kata itu yang mampu Radin ucapkan saat sudah berada di hadapan Yudha, sang Papa.

“Otak kamu, kamu taruh di mana, sih, Radinka?!” bentak Yudha sambil menggebrak meja.

“Kamu mikir tidak, kalau kelakuan kamu hanya membuat malu keluarga!” lanjutnya.

“Maaf, Pa,” lagi-lagi hanya itu yang mampu terucap dari mulut Radin.

Yudha mengambil lukisan Radin yang tadi sudah dia ambil dari kamar putranya. “Gara-gara ini, kan? Kamu pikir kamu bisa sukses gara-gara hal tidak berguna seperti ini?!”

“Enggak, Pa, jangan… Radin mohon.”

Yudha membanting lukisan itu dan kemudian menginjaknya hingga rusak.

“PA!” Radin berlari memunguti kepingan lukisan itu. Satu tetes air mata jatuh dengan bebasnya.

Mimpinya seakan hancur bersama lukisan itu.

“Radin, saya malu punya anak seperti kamu! Tidak becus apa-apa. Bisanya hanya terus-menerus membuat malu keluarga. Mau jadi apa kamu? Otak kamu cuma kosong isinya! Saya lebih baik tidak punya anak, daripada harus punya anak seperti kamu!” sentak Yudha.

Sakit, hati Radin sakit sekali.

Dia tidak minta untuk dilahirkan di keluarga ini? Namun kenapa sekarang justru dia yang dihakimi?

Radin berdiri. Matanya menatap marah, sakit, kecewa kepada Sang Papa.

“Papa egois!” sergah Radin.

Dalam detik berikutnya tamparan keras mendarat di pipi kanannya hingga membuat dia tersungkur di lantai. Tetesan darah menetes dari mulutnya.

Yudha menatap nyalang Radin. Melihat itu, Wina segera menenangkan suaminya. “Mas, sabar, Mas!”

“Mulai berani kamu melawan saya? Mau jadi anak durhaka kamu?!” bentak Yudha mencoba kembali menampar Radin, namun berhasil ditahan oleh Wina.

“Dasar anak kurang ajar kamu! Anak tidak tau diuntung!”

Radin menyeka pelan darah di mulutnya. “Udah? Sekarang giliran radin yang ngomong ke Papa.”

“Pa, dari kecil sampai sekarang radin udah SMA, apa pernah radin nolak permintaan Papa? Ralat, maksudnya perintah Papa? Apa pernah, Pa?” lirihnya menatap Sang Papa.

“Apa pernah Papa nanya ke radin, mau atau nggak ikutin perintah Papa? Apa radin suka atau nggak sama keputusan Papa? Nggak, Papa gak pernah nanya. Karena keputusan Papa selalu jadi yang paling mutlak di rumah ini. Tapi, apa pernah radin nolak? Nggak pernah, Pa.” Dia menghembuskan napasnya. Air matanya tidak mampu lagi dia tahan.

“Sampai rasanya, seiring berjalannya waktu, radin sadar, kalau radin udah kehilangan hak untuk diri radin sendiri.”

“Sakit, Pa, hati radin sakit,” ucapnya sambil memukul-mukul dadanya. Menandakan bahwa hatinya benar-benar sudah terluka.

“Pa, sebenarnya bisa dihargai sama Papa adalah cita-cita radin satu-satunya.”

“Dari kecil Radin cuma nunggu Papa buat bilang, ‘hebat banget anak Papa, Papa bangga sama kamu.’ Sesimple itu, kan, Pa? Radin cuma mau diapresiasi sama Papa, bukan cuma dituntut selalu dapat apa yang Papa mau. Radin juga bisa capek, Pa. Radin juga bisa nyerah.”

Bibir Radin gemetar menahan rasa sakit yang begitu dalamnya. “Pa, radin juga gak minta untuk dilahirkan di keluarga ini, seperti kata Papa, radin gak akan bisa jadi anak yang sempurna di mata Papa. Dan andai radin bisa, radin juga mau minta buat dilahirkan di keluarga yang gak pa-pa sederhana, tapi bisa ngasih radin lebih dari bahagia.”

“Pa, radin capek… capek banget. Radin udah gak kuat sama semuanya. Sekarang Papa udah puas? Ini, kan, yang Papa mau? Ngeliat mimpi radin hancur tanpa bisa radin tahan atau hentikan. Selamat, Papa menang kalau gitu.”

Dia beranjak pergi meninggalkan ruangan kerja Papanya.

Cukup, semuanya cukup untuk dia dengar. Tidak ada lagi yang ingin dia ucapkan. Terlampau sakit bila dilanjutkan.

Selalu begitu. Baginya, papanya adalah luka paling hebat yang tidak memiliki sebuah obat.

Apa artinya rumah, jika hanya memberikan luka yang tidak ada ujungnya?

Add a comment

Related posts:

Gigabyte realtek hd audio driver windows 10

This download provides the Realtek* High Definition Audio Driver for the 3.5mm audio jack when using for the 3.5mm audio jack on the Intel® NUC 11 Enthusiast NUC11PHKi7C, NUC11PHKi7CAA. This audio…

The Plumbing Life Saver

Introducing The Plumbing Life Saver — your go-to solution for all your plumbing needs! As trusted plumbers offering Plumbing Newcastle wide services, we understand how frustrating and stressful…

Behind The Twitter Password Change Message

Twitter recently asked their users to change the old password for security purposes. For these days all the users were prompted to change their password and almost all have responded to it. But this…